Senin, 12 Agustus 2013

Bangkit Dari Titik Nol

Ada saatnya nasib baik tak bersahabat dengan kita.
Ini saatnya kita mengelola emosi, modal untuk bangkit dari titik nol.
Hampir semua orang memiliki impian yang menjadi pemicu semangat, hidup lancar tanpa masalah, rumah tangga harmonis, kebebasan finansial, karier di puncak, atau bisnis berkembang.

Namun manusia hanya bisa berencana.
Perhitungan adakalanya meleset jauh dari harapan.
Kegagalan, apapun bentuknya, tentu mengecewakan.
Namun kesanggupan untuk bangkit menjadi penentu keberhasilan.
Masalahnya seberapa siap seseorang mengelola emosi untuk kembali bangkit dan meraih kesempatan berikutnya.

SAAT MERASA TAK BERHARGA

Keahlian mengelola emosi ini tentu saja tidak sama pada tiap orang.
Ada yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa mendapatkan semangat kembali.
Bahkan ada yang memerlukan waktu hingga hitungan tahun.
Sedih, marah, kecewa dan stres tidak bisa terhindarkan saat mengalami kegagalan.

Bagaimana jika mengalami kegagalan karena sebab yang tidak diketahui?
Tetap saja menyisakan rasa resah.
Butuh waktu cukup lama untuk memikirkan dan ‘menerima’ hal di luar perhitungan kita

Tidak hanya kegagalan di bidang pekerjaan atau bisnis saja yang membuat hidup rumit.
Begitu pula dengan kehidupan perkawinan yang gagal (baca : perceraian) dan juga penyakit yang berat semisal; jantung atau kanker, juga tiba tiba kehilangan orang yang amat disayangi ( kematian), dibutuhkan waktu hingga beberapa tahun untuk menata hati dan pikiran kembali.

Saat terpuruk seseorang merasa dirinya dipandang sebelah mata.
Stres bisa bertambah saat lingkungan sekitar bereaksi dengan cara yang salah.
Seperti ingin menunjukkan empati tapi ujungnya malah mengganggu.
Di saat itulah orang harus bisa membaca situasi.
Contohnya banyak bertanya untuk menunjukkan kepedulian, tapi itu justru membuat orang semakin sedih.

DUKUNGAN ORANG TERDEKAT, PENTING!

Pelepasan emosi memang diperlukan.
Ekspresikan emosi sesuai dengan cara dan waktu yang wajar dan bisa diterima oleh orang lain.
Saat mengalami keterpurukan orang terdekat yang biasanya menjadi tempat berkeluh-kesah.
Biasanya orangtua dan sahabat menjadi pilihan untuk berkeluh kesah.
Berusaha menyelesaikan masalah sendiri tidaklah salah, tapi sebagai manusia juga harus mau memberi dan menerima.

BANGKIT LAGI

Banyak hal yang bisa diambil jadi pelajaran seperti perlunya kemampuan untuk mengelola emosi lebih baik lagi.
Untuk itu kehati-hatian jadi perhatian utama.
Apalagi dalam membangun kepercayaan terhadap seseorang.
Kita sering “lupa” pada saat cinta sedang berbunga-bunga, kita “memaksakan” diri bahwa si dia akan berubah.
Namun nyatanya tidak begitu.

Mengenali masalah adalah langkah awal yang baik untuk memperbaiki kesalahan sebelum bangkit kembali.
Sama halnya untuk bangkit dari keterpurukan, untuk berhasil meraih kesempatan kedua pun diperlukan andil dari diri sendiri.
Nasihat atau saran secanggih apapun jika yang bersangkutan tidak bergerak akan percuma, karena hanya kita sendirilah yang bisa menolong diri sendiri.

Bangkit dari masalah bisa lebih mudah jika tidak sampai mengalami trauma.
Bila ada, maka diperlukan bantuan seorang ahli (psikolog) agar dapat kembali berjuang untuk menata hati(emosi) dan pikiran, agar jangan sampai terjadi depresi yang berkelanjutan.

Momentum untuk bangkit justru terjadi saat manusia ada di titik paling rendah.
Anthony Robbins, seorang life coach, pernah mengungkapkan bahwa orang yang terpuruk ibarat pegas yang sudah terinjak dan siap melontar kembali ke atas.
Kesempatan kedua memang bisa dalam bentuk impian yang sama ataupun berbeda.

Pada prinsipnya kita tak boleh berhenti mencoba, tapi kita juga harus memiliki ilmu, meningkatkan skill, dan juga memiliki alternatif dalam hidup.
Jalan orang memang berbeda-beda.
Untuk sampai di titik A ada yang tinggal lurus ada yang harus berkelok-kelok dulu.
Mungkin juga ada yang tidak pernah sampai ke titik A, tetapi menemukan titik B yang ternyata lebih baik baginya.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar